Jika Keindahan Itu Bernama Gelap

Kini kita kehilangan pesona dunia: Harum kembang, suara burung, warna fajar, telah (berubah) jadi “pegetahuan”. –GM-

Saya tak tau, apakah waktu bisa jatuh hati. Jika ia memang bisa, maka pastilah ia jatuh hati pada tempat ini. Di savana dan hutan baluran ini waktu berjalan lambat-lambat. Ia tak tergesa seperti di kota, tempat segala sesuatu menjadi tua sebelum waktunya.

Jika waktu punya rasa, maka orang yang tinggal dikota besar akan tau hal ini: bahwa lima belas menit sebelum jam delapan pagi adalah waktu yang paling tidak enak didunia. Orang-orang menyetir mobil maupun motor dengan membabibuta, seakan-akan tidak pernah melihat SIM sebelumnya. Dijalanan stock kesabaran memang selalu terbatas, ia seringkali melahirkan emosi-emosi yang susah dijaga. Jadi saran saya, jangan iseng mencari gara-gara dengan mereka yang berada dijalan raya dikisaran jam delapan pagi, karena stock kesabaran yang sedikit itu akan membuat orang mudah lupa bahwa kita pernah upacara dibawah bendera yang sama.

Maka pagi itu 21 november 2010 saya bersyukur, ditengah banyaknya waktu menjelang jam delapan yang saya habiskan dikota, ada hari dimana saya melewatkan jam delapan dengan damai, dengan tanpa tergesa. Di taman nasional baluran, pada jam delapan pagi kita akan disapa suara segar debur ombak dan kicauan burung, dan ketika kita membuka tirai jendela akan segera terlihat ratusan monyet berlompatan disekitar kamar. Tak ada absensi sidik jari, tak ada lampu merah yang macet dan juga segala jenis definisi keruwetan lainnya. Hanya ada matahari pagi, segarnya hutan, putihnya pasir pantai, jernihnya laut dan lucunya ikan nemo yang sedang bermain-main di tengah-tengah anemon si terumbu karang.

Perjalanan ke Taman Nasional Baluran bermula dari ajakan mas Yusuf melalui sebuah pesan singkat, iseng-iseng saya pun meng-iya kan. Dalam data base otak saya, yang namanya Taman itu adalah sebidang tanah di halaman atau ditengah kota dengan beberapa jenis bunga semacam melati atau mawar yang dipadukan dengan bonsai yang tertata rapi, dimana kambing dan sapi dilarang masuk. Namun ketika tau keterangan mas Yusuf bahwa Baluran adalah semacam Africa Van Java maka mulai goyahlah keimanan saya tentang definisi dan bentuk sebuah taman.

Maka begitulah, akhirnya saya berangkat kebaluran dengan teman-teman yang menyenangkan, ada mas Kris, mas Yusuf, Tedo, Irene, Ferri dan Hemy imeh serta pak supir yang saya lupa namanya.. Maaf ya pak L

Dibaluran, ada dua kompleks penginapan. Yang pertama ditengah savana, tempat dimana rusa-rusa liar biasa berkumpul di siang hari, sedang yang kedua dipinggir pantai Bama yang dikelilingi hutan lebat. Jika kawan-kawan memutuskan untuk menginap di penginapan yang ditengah savana maka akan mendapatkan suguhan indahnya kehidupan liar savana dengan latar belakang gunung yang menawan. Sementara kalau memilih menginap didekat pantai Bama akan disuguhi suasana eksotis hutan lebat dengan suara deburan ombak pantai pasir putih.

Pada sabtu malam saat makan di cafe penginapan, kami menyempatkan diri berbincang dengan seorang peneliti dari LIPI dan peneliti dari Brazil bernama Fernando yang sudah beberapa hari tinggal disitu. Dengan bersemangat si Fernando ini bercerita tentang pengalamannya menyusuri hutan siang tadi, kebetulan saat itu ditengah hutan ia bertemu sekawanan srigala yang sedang memburu seekor rusa, dalam waktu kurang dari setengah jam seekor rusa telah habis dimakan oleh kawanan serigala, Fernando beruntung, karena ia sempat mengabadikan moment tersebut dengan sebuah handycam. Waktu kami tanya apakah dia tidak takut diserang kawanan serigala tadi, dengan kocak Fernando menjawab bahwa kalau diserang ia akan lompat ke laut lalu berenang hingga ke bali lol. Fernando juga bercerita, bahwa sehari sebelum kami datang seekor macan tutul lengkap dengan badan dan kepalanya datang kepenginapan namun kemudian pergi lagi. Oiya, dalam versi resmi sebenarnya yang ditemui Fernando itu bukan srigala, tapi anjing hutan.

Hari sudah semakin malam, namun kami masih bernyaman-nyaman ria di cafe penginapan, padahal malam itu kami berencana untuk jelajah hutan mengintip banteng yang lagi cari minum di kubangan. Kawan, kata petugas kawasan Baluran jika siang hari banteng-banteng ini sangat susah dicari karena mereka selalu berusaha menghindari manusia, jadi kalau ingin melihat banteng-banteng ini maka saat terbaik adalah malam hari. Ya, kami memang bermaksud jelajah hutan, namun cerita tentang macan tutul yang datang ke penginapan dan video kawanan srigala yang mencabik-cabik rusa membuat nyali kami ciut, maka kami tak juga beranjak dari cafe. Untuk orang-orang yang bernyali ciut, cafe merupakan tempat yang menyenangkan.

Lewat jam sembilan malam kami mulai berkemas. Entah siapa yang memulai, akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan kehutan. Pada waktu ijin ke petugas, saya menyempatkan diri untuk bertanya “Pak dihutan ini masih banyak harimaunya ya?” tanya saya, datar. “Nggak ada, disini sama sekali ngga ada harimaunya” jawab Penjaga, mantab. “Lho, katanya tadi malam ada seekor harimau yang datang ke penginapan?” Lanjut saya, memastikan. “Itu sih Macan Tutul, bukan Harimau. Kalau macan Tutul disini banyak” kata pak penjaga, dengan wajah tanpa dosa. Hhhrrggg,…….

Saya memasuki hutan dengan menghibur diri, seandainya bertemu macan tutul atau srigala toh saya masih bisa lompat ke laut dan berenang ke bali, seperti tips dari Fernando tadi. Namun sayang, ternyata rute yang kami ambil justru berlawanan dengan arah laut, kearah hutan dan savana. Walau menjelang purnama namun hutan tetap saja hutan, tak bisa benar-benar disebut terang. Apa yang sebenarnya kami cari dalam gelap? Benarkah itu hanya tentang Banteng yang mencari minum? Entahlah, kami, terutama saya, tak mempunyai jawaban pasti. Tiba-tiba saja saya teringat dengan komunitas Gothic yang menyukai segala yang gelap. Kami sama-sama memasuki gelap, kami sama-sama mencari sesuatu, namun komunitas Gothic jelas punya tujuan yang lebih kuat “Kami memilih kegelapan bukan karena mencari jalan sesat, keteduhan yang kami ingin” kata kaum gothess.

Belum jauh kami memasuki hutan kami mendapati pemandangan indah, sepasang mata yang bersinar dalam gelap. Walaupun tingginya berukuran srigala, namun saya tetap berdoa dalam hati “Tuhan, semoga ini mata seekor kucing, amin” Mungkin setan tertawa mendengar doa saya, “Walaupun Tuhan maha pemurah mbok ya jangan keterlaluan bodohnya kalau berdoa” barang kali begitu teriak setan sambil tertawa berguling-guling. Biarin, dalam hutan ini saya lebih takut pada Macan Tutul daripada setan, yang takut pada setan cuman si Irene, dia lebih takut bertemu banaspati, hantu berambut api tanpa tubuh daripada bertemu binatang buas. Kadang-kadang, jika berada dihutan perempuan memang aneh..

Ketika memasuki savana tiba-tiba kami semua terdiam, ada suara menggeram-geram tak begitu jauh dari tempat kami berjalan. Kali ini saya tidak berdoa agar itu suara kucing, males diketawain setan :p. Kami semua sepakat, bahwa itu adalah suara harimau, ehm bukan, macan tutul. Kawan, menurut penjaga Baluran, macan tutul ini tak akan mengganggu manusia, jarak sepuluh kilo pun kalau ia tau ada manusia maka ia akan menghindar. Dan kami percaya, maksudku pada awalnya kami percaya. Tapi setelah saya pikir-pikir itu tak masuk akal, buktinya kemarin malam macan tutulnya silaturahmi ke penginapan, bukan menghindar dari manusia. Antara macan tutul dan si penjaga, salah satu pasti sedang tidak beres.

Keputusan bijak akhirnya diambil oleh mas Yusuf, kami diajak balik kepenginapan. Sesampainya di penginapan kami duduk-duduk di tepi pantai. Sekedar menenangkan diri dan menikmati damai. Namun tak lama berselang, kami sudah bersiap-siap untuk berangkat jelajah hutan lagi. Alasannya sederhana, kami belum sempat foto-foto dengan spanduk Explore Solo didalam hutan. Fiuh. Antara spanduk dan kami, salah satu pasti sedang tidak beres.. lol.

Kami pun kembali masuk hutan, sepasang mata yang bersinar tadi masih ditempat semula, namun suara menggeramnya sudah tak terdengar lagi. Tiba di padang savana kami berhenti, sekedar duduk-duduk menikmati bulan bundar yang hampir purnama. Indah sekali kawan, ketenangannya, udara segarnya, hamparan luasnya dan kedamaiannya tak terlukiskan. Ada jiwa yang terasa terbang bebas disana. Ternyata kegelapan memang menyimpan keindahan.

Malang 17 Desember 2010

edisi catatan perjalanan

Fajar