Menghukum Orang Kesusahan

Ada yang memandang Tuhan itu begitu pemarah dan suka menghukum. Saudara2 saya yang punya pandangan seperti ini ketika terjadi bencana akan dengan mudah mengatakan bahwa bencana itu adalah hukuman Tuhan atas dosa2 manusia yang sudah kelewatan, dan sebagai bangsa yang kelewatan kita memang layak untuk dihukum. Suara2 seperti ini memang sedang nyaring, dan disuarakan dari lintas golongan, mulai masyarakat awam hingga pemuka2 agama. Saya tahu, maksud dan tujuan saudara2 saya tersebut sebenarnya baik, mengajak pada pertaubatan dan mengajak kearah kebaikan.
Saya sendiri sementara ini justru sedang bertanya2, benarkah Tuhan sedang menghukum hambanya yang terlalu berdosa? Logika saya memang sederhana, kalau Tuhan memang sedang menghukum pendosa, kenapa yang terhukum justru masyarakat2 pedesaan dan pesisir yang lugu, sementara koruptor2 besar, pengemplang2 uang negara justru tak tersentuh, bisa bersantai studi banding keluar negeri dan jg ada yg nonton tenis malah. Di surabaya, lokalisasi terbesar di asia tenggara pun masih tetap meriah, jangankan kena wedus gembel, hujan abu pun tidak. Masa Tuhan salah menghukum? Kalau logika seperti ini yang dipakai maka sungguh saya prihatin sekaligus khawatir, karena secara tidak sadar kita sedang menghakimi korban2 bencana sebagai kaum pendosa. Menurut saya ini sungguh tak adil dan tak patut. Kita bangsa yang korup dan pendosa, itu mungkin benar, tp gunung meletus adalah sunatullah agar keseimbangan energi bumi tetap seimbang, bumi sedang melepaskan energinya secara berkala. Saudara2 kita yang tertimpa musibah sedang kesusahan, maka janganlah justru menghakimi mereka dengan mengatakan itu adalah hukuman Tuhan. Wallahu a’lam.

Jember, 18 November 2010
-fajar-

Harapan

“Kalender selalu sampai di lembar terakhir, kita selalu tiba di pangkal pertanyaan: Benarkah harapan mungkin?” kata Goenawan mohamad, disalah satu tulisannya. Saya termenung2 saat membaca kalimat ini. Harapan, sebuah kata yang sering membuat saya gelisah, tegar sekaligus gentar. Saya sering menyebut harapan dengan mimpi, walaupun memang tak persis benar maknanya. Mimpi atau harapan membuat malam-malam saya disesaki tanya: saya sedang berdiri dimana? Jauhkah jarak saya dengan mimpi2 saya? Maka saya menjadi gentar, menyadari jauhnya mimpi dari kenyataan. Lalu saya memasukkannya –daftar mimpi- kedalam doa. Saya berdoa berulang2, disaat gelap dan terang. Saya berdoa berulang2 bukan karena takut Tuhan lupa dengan doa saya, atau meragukan kemurahanNYA yang jika saya hanya berdoa sekali maka takkan dipenuhi. Bukan. Saya berdoa berulang2 justru agar saya sendiri selalu ingat akan mimpi yang saya minta. Sungguh, merasa kalah, rasa gentar dan rasa lelah sangat efektif untuk membuat saya lupa dengan mimpi2 saya.
Suatu hari seorang sahabat bercerita, bahwa jika kita selalu mengingat keberuntungan2 dalam hidup kita secara terus menerus maka kita cenderung akan menemukan keberuntungan2 dalam hidup kita, demikian juga sebaliknya, jika yang selalu kita ingat adalah kesialan dalam hidup maka itu juga yang cenderung akan banyak kita temui dalam hidup selanjutnya. Saya setuju dengan yang disampaikan sahabat ini, menurut saya ini adalah konsep syukur: yaitu sebuah kesadaran akan betapa beruntungnya hidup kita.
Dikota malang yang dingin ini, kepada beberapa teman saya pernah menceritakan mimpi2 yang ingin saya gapai hingga akhir tahun. Bukankah kata motivator2 terkenal itu mimpi harus divisualisasikan, juga harus diceritakan? Namun, tak seorangpun percaya saya akan sampai. Dan seperti yang saya bilang, saya juga gentar saat mengingatnya. Kota yang dingin, tanggapan yang dingin.
Saya mungkin lupa, mimpi memang belum menjadi kebutuhan pokok seperti sembako dan sinetron. Segala sesuatu telah di reduksi dan disederhanakan di negeri ini, juga mimpi. ”Kejarlah cita2mu setinggi langit” disederhanakan menjadi ”luluslah dengan nilai tinggi dan carilah pekerjaan yang bagus” Nasehat yang menggoda untuk orang2 yang menatap mimpi dengan gentar seperti saya. Tapi pada akhirnya saya lebih memilih nasehat yang saya ciptakan untuk diri saya sendiri: Dinegeri yang dimiskinkan oleh sistem ini harga cabe saja boleh terbang tinggi, masa mimpi tak boleh tinggi? Kota yang dingin, dengan hati yang sesaat terasa hangat.
Sebenarnya tak selamanya saya melihat mimpi dan negeri ini dengan muram. Setidaknya ada terbersit rasa bangga menjadi anak negeri ketika ingat bahwa republik ini didirikan oleh jutaan orang yang bersemangat, jutaan orang yang berani bermimpi tinggi. Tentang sebuah republik merdeka yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan didalamnya. Ya, para pendiri republik ini telah mengajarkan kita untuk berani bermimpi. Yang tinggi.

Malang, 25 juli 2010
-fajar-

Tuhan yang Feminin

Saya adalah fajar kecil yang cerewet dan banyak bertanya. Dan menyebalkan. Suatu ketika karena terlalu banyak bertanya dengan agak gusar guru saya berkata “jangan terlalu banyak bertanya, seperti bangsa yahudi saja”. Tentu saja waktu itu saya masih terlalu kecil untuk tau apa itu “terlalu banyak tanya” dan “bangsa yahudi” pengetahuan saya tentang bangsa yahudi hanyalah sebatas tentang kisah para rasul, dimana orang2 yahudi bertanya berkali2 kepada rasul tentang ciri2 sapi yang harus dicari. Maka sayapun menggumam dalam hati “saya kan bertanya tentang pelajaran, bukan tentang sapi” lol
Ketika kemudian saya menjadi mahasiswa, saya bertemu sahabat2 yang alhamdulillah bawelnya lebih parah dari bawel yang menjangkiti saya. Sahabat2 yang hobinya menanyakan, mempertanyakan dan menyatakan hal2 yang kontroversial. Terkadang yang dinyatakan benar tapi tertolak oleh konstruksi sosial, dan tidak diakui sistem. Suatu ketika dalam sebuah diskusi kecil, seorang sahabat yang kini menjadi dosen sebuah perguruan tinggi negeri islam ternama di surabaya berkata ” memakai jilbab itu tidak wajib” ujarnya dengan gaya yang nyentrik, khas sidoarjo. Seorang sahabat lain segera terpancing ” wah ngawur” ujarnya dengan berapi2. Dengan tenang sahabat pertama tadipun tersenyum penuh kemenangan, kumis anehnya yang setia ikut kemana2 bergerak2 mengikuti pola senyumnya. “Yang wajib itukan menutup aurat, bukan memakai jilbab. Menutup aurat bisa dengan apa saja, bisa dengan sarung, bisa juga dengan selimut, tak harus dengan jilbab” lanjutnya, mantab. Hahahha saya tertawa lepas dalam hati, akan saya tunggu masa nya tiba. Saya akan lihat apakah kelak istrinya akan pergi ke mall dengan memakai selimut, atau memakai kain gulungan, atau memakai spanduk yang sudah tidak terpakai. Kawan, terkadang kebenaran memang memilukan.
Beberapa waktu yang lalu di penghujung malam, disebuah tempat yang damai di jogja saya larut dalam diskusi dengan dua orang sahabat, seorang santri gontor dan seorang TKW penjual shampo baik hati yang memberi kami tumpangan menginap. Sahabat dari gontor ini bercerita, tentang Tuhan laki2 dan Tuhan perempuan. “Dahulu saya mempersepsikan Tuhan itu sebagai Tuhan laki2, Tuhan yang maskulin. Tuhan yang gemar menghukum jika saya berbuat salah” curhatnya, memelas. Dan saya pun terharu. “Akibat dari persepsi dari Tuhan maskulin ini kehidupan saya jadi serasa terkekang. Langkah saya jadi terbatas karena takut salah, takut dihukum” lanjutnya. Dan saya masih terharu.
“Sekarang saya mempersepsikan Tuhan sebagai Tuhan perempuan, Tuhan yang feminin. Dalam persepsi saya sekarang, Tuhan adalah sosok yang lembut dan pemaaf. Tuhan yang penyayang. Dengan persepsi saya sekarang, hidup jadi lebih tenang dan lebih bebas” tutupnya. Sejenak dia terdiam, perempuan penjual shampo terdiam, saya terdiam, dan Mas Jek yang sedang tidur lelap didalam rumah pun juga terdiam.
Baiklah, saya ingin menanggapi.
Menurut saya sah2 saja persepsi sahabat dari gontor ini tentang Tuhan. Bukankah Tuhan sendiri berkata “Aku adalah seperti yang kamu sangkakan”? Walaupun pendapat yang lebih konservatif mengatakan bahwa Tuhan itu bukan laki2 dan bukan perempuan. Yang ingin saya tanggapi adalah persepsi tentang laki2 dan perempuan itu sendiri, persepsi tentang maskulin dan feminin. Ah, kawan, dewasa ini menurut saya terlalu tergesa2 jika mendefinisikan lelaki dengan tegas, keras, dan senang menghukum. Dan mendefinisikan perempuan dengan lembut dan pemaaf serta penyayang. Mendefinisikan laki2 dan perempuan seperti itu bisa saja tepat, tapi kita harus mundur 75 tahun kebelakang dulu 🙂
Jadi begini kawan, walaupun sebenarnya ide lama, tapi saya senang dengan ide “Tuhan yang lembut dan pemaaf, serta pengasih dan penyayang, seperti dalam kalimat yang melengkapi bismillah” namun saya sedikit geli dengan definisi dan persepsi tentang laki2 dan perempuan itu sendiri. Bukankah sudah nyata, bahwa engkau dilahirkan dengan nama luthfi, yang artinya Lelaki yang Lembut? Bukan Lathifah, yang berarti perempuan yang lembut. Namamu sangat “mudzakkar” kawan, bukan “muannas”. Atinya sifat lembut itu juga bisa sangat lelaki. Maka kutunggu undanganmu disebuah warung kopi, untuk mendiskusikan masalah ini lebih jauh. Atau, aku akan tetap geli.

Sebuah doa: Wahai Tuhan -yang maskulin dan feminin- terimakasih karena telah memberikan saya sahabat2 yang bawel, dan mohon berikanlah lebih banyak sahabat dari jenis mereka. Tapi Tuhan, satu istri yang bawel saja saya rasa sudah cukup. Itupun jangan yang terlalu bawel.. Amin.

(Indonesia, 07 Juli 2010)
-fajar-